Sidoarjo, Kamis 23 Oktober 2025 — WartaRepublik
Praktik perjudian sabung ayam di wilayah Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, kembali menampar wajah penegakan hukum di daerah. Aktivitas ilegal yang semestinya menjadi sasaran penindakan itu kini justru berlangsung terang-terangan, bahkan seolah mendapatkan perlindungan dari oknum tertentu.
Hasil pantauan tim WartaRepublik di lapangan mengungkap pemandangan yang mencengangkan. Setiap akhir pekan, arena sabung ayam di kawasan Sedati disesaki ratusan orang. Riuh sorakan penonton berpadu dengan aroma tajam uang taruhan yang berpindah tangan dalam jumlah besar. Di sekitar lokasi, terlihat sejumlah pria berbadan tegap mengenakan seragam tidak resmi yang diduga bertugas sebagai “pengaman” arena.
Kegiatan tersebut tidak lagi bersifat sembunyi-sembunyi. Warga sekitar menyebut, praktik itu telah berlangsung lama dan bahkan berkembang menjadi ajang besar dengan sistem taruhan profesional. “Sudah lama, Mas. Setiap minggu pasti ramai. Tapi anehnya, nggak pernah digerebek. Polisi kayak pura-pura nggak tahu,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya, Kamis (23/10/2025).
Informasi yang dihimpun menyebutkan, arena itu dikelola oleh sosok berinisial MK, dikenal luas sebagai Mas Kodir. Di bawah kendalinya, kegiatan sabung ayam di Sedati berkembang pesat. Setiap Selasa bahkan digelar event besar bertajuk “Tarung 17 Gandeng”, yang mempertemukan puluhan ayam aduan dari berbagai daerah, mulai dari Pasuruan, Mojokerto, hingga Surabaya.
Lebih mengejutkan, sistem keamanan di sekitar arena disebut sangat rapat. Tim WartaRepublik yang menelusuri kawasan itu menemukan pola penjagaan berlapis, dari tukang parkir hingga petugas jaga di pintu masuk. Transaksi uang jutaan rupiah terjadi secara terbuka tanpa rasa takut sedikit pun terhadap aparat penegak hukum.
Kondisi ini memunculkan dugaan kuat adanya pembiaran terstruktur, bahkan perlindungan dari oknum tertentu. Beberapa narasumber menyebut, keberlangsungan arena itu tidak lepas dari adanya “setoran koordinasi” yang mengalir kepada pihak tertentu agar kegiatan tetap aman.
“Kalau polisi mau bertindak, itu tempat bisa ditutup dalam hitungan jam. Tapi faktanya dibiarkan. Ini sudah bukan hanya perjudian, tapi soal moralitas dan integritas aparat,” tegas seorang tokoh masyarakat Sedati.
Fenomena tersebut kini menjadi sorotan publik. Masyarakat mendesak Kapolda Jawa Timur turun langsung memerintahkan penyelidikan menyeluruh, termasuk menelusuri kemungkinan keterlibatan oknum aparat dalam jaringan pengamanan arena tersebut.
Padahal, Pasal 303 KUHP dengan jelas mengatur bahwa perjudian merupakan tindak pidana dengan ancaman penjara hingga 10 tahun. Bahkan mereka yang turut membantu, memfasilitasi, atau membiarkan praktik semacam itu dapat dijerat dengan Pasal 480 dan 481 KUHP.
Ketiadaan tindakan nyata dari aparat dinilai sebagai bentuk kemunduran dalam penegakan hukum. “Ketika hukum tidak lagi tegas terhadap pelanggaran yang nyata, maka kepercayaan publik akan mati perlahan. Diamnya aparat sama saja dengan membiarkan keadilan terkubur,” ujar pengamat hukum lokal, Dr. H. Riyan Subekti, S.H., M.H.
Warga berharap penegakan hukum tidak berhenti pada retorika. Mereka menuntut bukti nyata bahwa negara tidak tunduk pada praktik kotor yang mencederai rasa keadilan.
Negara tidak boleh kalah oleh uang, jabatan, dan permainan belakang meja. Hukum harus ditegakkan dengan tegas — tanpa pandang bulu, tanpa kompromi, dan tanpa takut pada siapa pun yang bermain di balik layar.
Jika aparat kembali bungkam, publik punya hak untuk menyimpulkan: di Sedati, hukum bukan lagi panglima — melainkan sekadar alat yang bisa dibeli.
Penulis Redaksi
