Ki Narto Sabdho dan Ki Sindhunata Gesit Widiharto: Dua Dalang, Satu Amanah Budaya


Wartarepublik.my.id
| Semarang   Malam peringatan 100 tahun kelahiran Ki Narto Sabdho di Museum Ronggowarsito, Semarang, menghadirkan bukan sekadar sebuah pertunjukan wayang kulit. Lebih dari itu, ia menjadi panggung perjumpaan lintas generasi: maestro legendaris dengan karya abadi, dan dalang muda penuh terobosan, Ki Sindhunata Gesit Widiharto.

Keduanya ibarat dua mata rantai budaya Jawa Tengah yang saling mengikat: Ki Narto Sabdho sebagai akar tradisi yang kokoh, dan Ki Sindhunata sebagai ranting baru yang tumbuh segar, meneduhkan, dan menjanjikan masa depan seni pedalangan di era digital.

Dari Pakem Luhur ke Sentuhan Milenial

Ki Narto Sabdho, semasa hidupnya, dikenal sebagai dalang yang menegakkan pakem luhur. Ia menyampaikan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana dengan daya magis yang membuat penonton hanyut dalam alur dan makna.

Kini, jejak itu diteruskan oleh Ki Sindhunata Gesit. Tumbuh dalam keluarga pecinta budaya Jawa, ia menekuni pedalangan secara serius hingga menempuh pendidikan tinggi S3 . Namun, yang membuatnya berbeda adalah gaya penyajian yang lebih humanis, segar, dan komunikatif.

Dengan keberanian bereksperimen, Sindhunata menyatukan tradisi dengan modernitas: bahasa gaul yang renyah, musik pengiring yang akrab di telinga generasi muda, hingga gaya berpakaian unik sarung yang dipadukan dengan blazer, menjadi ciri khas. Di tangannya, wayang kulit tidak lagi dipandang kuno, melainkan tampil sebagai ikon budaya yang fashionable.

Tamu Kehormatan dan Apresiasi Tinggi kepada Bung KIRNO (St Sukirno budayawan Semarang) atas inisiasi dan ide dari acara tersebut dan juga 

Paguyuban CATUR MANUNGGAL ( puji langgeng, Maju kareb , Sobokarti, Suharti Laras)  yang bekerjasama dengan fraksi PDI-P DPRD Jawa Tengah 

Pagelaran Sang KUMBAKARNA malam itu semakin semarak dengan hadirnya seniman senior Abah KIRUN yang turut mengisi pagelaran wayang kulit dan juga hadir tamu kehormatan dari kalangan seniman, budayawan, akademisi, hingga pejabat Dinas Kebudayaan Kota Semarang. Kehadiran mereka bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk nyata apresiasi atas ikhtiar pelestarian budaya yang digagas Teater Lingkar bersama dalang muda Ki Sindhunata.

Para tamu menyaksikan dengan khidmat, merasakan energi regenerasi budaya yang lahir bukan hanya dari nostalgia, tetapi juga inovasi kreatif yang menyatu dengan perkembangan zaman. Dalam sambutan singkat, beberapa tokoh budaya menekankan pentingnya menaruh hormat pada leluhur seni seperti Ki Narto Sabdho, sembari menaruh optimisme besar pada generasi penerus.

Wayang sebagai Jalan Strategis

Lebih dari hiburan, pagelaran di Museum Ronggowarsito ini menjelma sebagai strategi kebudayaan: bagaimana warisan Jawa yang kaya mampu menemukan relevansinya di era milenial dan digital.

Ki Sindhunata Gesit membawa misi yang sejalan dengan amanah Ki Narto Sabdho: menjaga, merawat, sekaligus menghidupkan kembali wayang kulit agar tetap berdenyut dalam nadi masyarakat modern. Ia menjadikan panggung bukan hanya ruang tontonan, tetapi juga ruang tuntunan—bahwa budaya luhur bisa dipelajari, dinikmati, bahkan dibanggakan generasi baru.

Harmoni Masa Lalu dan Masa Depan

Malam itu, Semarang menyaksikan lebih dari sebuah pertunjukan. Ia menyaksikan harmoni masa lalu dan masa depan, terjalin erat dalam lakon Sang Kumbakarna.

Ki Narto Sabdho dan Ki Sindhunata Gesit Widiharto, meski berbeda zaman, bertemu dalam satu amanah: menjaga wayang sebagai cermin kebijaksanaan Jawa sekaligus warisan dunia yang tak lekang dimakan waktu.

Dengan spirit ini, pagelaran wayang kulit bukan lagi sekadar perayaan, melainkan investasi kultural untuk memastikan identitas bangsa tetap hidup dalam setiap suluk, setiap gamelan, dan setiap bayangan wayang yang menari di layar kelir.(Red)

Lebih baru Lebih lama